Hadiah Nobel Tidak Bisa Ditargetkan Sejak Awal

f:id:saipulallah:20150407113045j:plain

Pengumuman lemari asam dan fungsinya Professor Ryoji Noyori (63 tahun, Nagoya University) sebagai salah satu peraih hadiah Nobel kimia membawa kebanggaan tersendiri bagi pemerintah Jepang dan masyarakatnya. Ini berarti, 2 tahun berturut-turut ilmuwan Jepang berhasil meraih hadiah Nobel. Noyori adalah orang Jepang ke-7 yang menerima hadiah Nobel bidang ilmu pengetahuan (Fisika/Kimia/Biologi/Kedokteran).

Hadiah Nobel selalu disangkutpautkan dengan level dan kemampuan sains suatu negara. Jepang sering dikenal sebagai negara berteknologi tinggi. Barang-barang elektronika adalah buatan Sony, Toshiba, serta Fujitsu, kemudian mobil-mobil buatan Toyota, Nissan dan Mistubishi juga cukup merasuk ke penjuru pasaran dunia. Namun Jepang terasa kurang dalam hal orijinalitas iptek. Ini bisa juga dilihat dari sedikitnya jumlah penerima hadiah Nobel asal Jepang selama ini.

Tidak heran pemerintah Jepang, ingin membuang jauh image negatif tentang kondisi ipteknya. Tahun lalu, dalam renstra iptek tahap ke-2, Council for Science and Technology (CST) Jepang telah menetapkan target 30 hadiah Nobel dalam jangka waktu 50 tahun ke depan. Ini berarti minimal dalam 2 tahun, harus ada satu peraih hadiah Nobel dari Jepang. Target pemerintah Jepang ini memang bagi orang awam, sangat mudah untuk dimengerti. Penilaian atas keberhasilan atau kegagalan proyek tersebut juga mudah dilakukan.

Namun di sisi lain, lemari asam terbuat dari ada hal yang dikhawatirkan oleh beberapa kalangan peneliti. Professor Hideki Shirakawa peraih hadiah Nobel Kimia tahun 2000, yang juga menjadi anggota CST ikut khawatir. Sebaiknya kita jangan terlalu terpaku pada suatu angka, tandasnya. Meskipun di lain pihak, ia sendiri ikut merasa gembira atas kemauan pemerintahnya untuk memperbaiki lingkungan riset iptek, demi tercapainya target.

Kritik Pedas

Terhadap target pemerintah Jepang tersebut, Noyori juga ikut mengkritik lebih pedas. Penetapan target 30 peraih hadiah Nobel tersebut, justru dikhawatirkan mengesampingkan makna dari penelitian itu sendiri. Saya rasa pemerintah thoughtless (kurang berpikir) dalam hal ini, tuturnya dengan pedas. Ketika dikabarkan bahwa ia adalah pemenang hadiah Nobel Kimia 2001, Noyori sendiri merasa bergembira. Itu berarti pihak Royal Science Academi telah menilai bahwa penelitian yang telah saya lakukan benar-benar memberikan makna, tuturnya mantap. Namun demikian, Noyori menandaskan bahwa meraih hadiah Nobel tidak bisa disamakan dengan meraih medali emas dalam suatu olahraga. Tidak ada aturan yang baku, sehingga semua orang bisa dengan mudah mentargetkannya dari awal.

Menurut Noyori, sains adalah mirip dengan seni. Yang terpenting adalah bagaimana ilmuwan bisa mengerahkan tenaganya untuk suatu riset yang disenanginya, kata Noyori sambil menjelaskan prinsipnya dalam riset. Sebaiknya kita tidak usah terlalu memikirkan target hadiah Nobel. Dan bagi pemerintah, tidak perlu terpaku pada jumlah penerimaan hadiah Nobel. Yang harus dilakukan pemerintah sekarang adalah bagaimana pemerintah membuat kondisi lingkungan meneliti yang nyaman bagi para ilmuwan.

Selanjutnya ketika ditanya tentang fungsi universitas, Noyori kembali menegaskan bahwa universitas bertugas penuh sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sains. Menurut Noyori, kebijakan pemerintah untuk menjadi universitas sebagai pendukung industri adalah keliru. Kondisi industri Jepang yang lemah saat ini, dikarenakan oleh lemahnya kondisi riset di dalam industri itu sendiri.

Wawancara terbuka dengan Professor Noyori dilaksanakan di kantor Chemical Society of Japan (CSJ). Peraih hadiah Nobel kimia ini telah ditetapkan untuk menjabat sebagai presiden CSJ periode mendatang. Meskipun khawatir akan kesibukannya di CSJ, namun bagi Noyori yang terpenting adalah penelitian, dan yang kedua adalah pendidikan. Ia tak ingin mengubahnya, meskipun kesibukannya akan terus bertambah.